Minggu, 30 September 2012

Selama ini masyarakat sudah menggunakan teknologi GPS untuk sistem navigasi darat, udara dan laut dan beberapa orang/perusahaan sudah menerapkan teknologi GPS + GSM untuk memonitor pergerakan kenderaan mereka yang lebih dikenal sebagai GPS Tracking. Pada tulisan sebelumnya saya sudah memaparkan penggunaan GPS dalam upaya mitigasi bencana erupsi gunungapi yaitu dengan cara mengamati kempang-kempisnya. Berikut ini coba saya jelaskan sedikit tentang penggunaan GPS dalam upaya mitigasi bencana gempabumi.
Mekanika Gempabumi
Gempabumi diyakini memiliki siklus perulangan yang dalam bahasa bule dikenal dengan istilah earthquake cycle. Perulangan gempabumi ini mengindikasi gempabumi yang zaman dahulu pernah terjadi akan terjadi lagi dimasa yang akan datang. Bentuk analisa perulangan gempabumi bisa dilakukan dengan mempelajari naskah gempabumi zaman dulu, studi terumbu karang microatoll, paleo-tsunami, dan lain-lain. Dalam satu siklus gempa bumi terdapat beberapa mekanisme tahapan terjadinya gempa bumi, diantaranya yaitu tahapan interseismic, pre-seismic, co-seismic, dan post-seismic (Natawidjaja, 2004). Sementara itu, bentuk analisis tahapan gempa bisa tandai dengan adanya deformasi atau pergerakan lempeng bumi dengan pola tertentu. Deformasi atau pergerakan lempeng bumi ini bergeraknya sangat lambat sekali (0,5-6 cm/tahun) dan hanya bisa diamati menggunakan GPS Geodetik. Contoh yang paling dekat adalah pengamatan deformasi akibat gempa Aceh 2004.
Deformasi Setelah Gempa Aceh 2004
Nagoya University, ITB, BPPT, LIPI bekerjasama dengan Lab. Geofisika Jurusan Fisika Unsyiah melaksanakan Survey GPS geodetik di seluruh kawasan Aceh pada bulan Feb-Maret 2005 sampai sekarang. Survey itu dilakukan untuk mengamati perubahan muka tanah/deformasi setelah gempa besar 2004. Pengukuran dilakukan pada titik ukur (benchmark) BPN dan Bakosurtanal, hasil pengukuran 2005 dibandingkan dengan hasil pengukuran sebelum 2004 (data BPN dan Bakosurtanal) sehingga bisa dilihat deformasinya sesuai dengan gambar 1.
Gambar 1. Vektor deformasi Aceh setelah gempa 2004 (Irwan, et al, 2005)
Setelah gempa 2004, kawasan Aceh bergeser ke arah Barat daya sejauh 0,7 meter – 2,7 meter. Konon katanya pergerakan ini sangat berguna dalam upaya mitigasi bencana gempabumi, namun bagaimana caranya?
Lempeng Indo-Australia bergerak dengan kecepatan 4-5 cm/tahun di bagian Sumatra dan 7 cm/tahun di Jawa dan Bali (Simmons et al., 2007), bergerakan yang “menyodok” lempeng Eurasia ini membuat lempeng Eurasia tempat pulau Sumatra duduk terdorong ke utara. Apabila posisi/koordinat Aceh sudah berada pada koordinat mendekati sebelum 2004 maka diduga akan terjadi gempa lagi seperti Desember 2004. Itu sebabnya pengukuran GPS geodetik bisa diaplikasikan dalam upaya mitigasi bencana gempabumi. Selain upaya mitigasi dengan cara membandingkan koordinat, nilai pergerakan dari data GPS juga bisa digunakan untuk menghitung nilai stress (tegangan) dan strain (regangan) pergerakan lempeung Indo-Australia terhadap Eurasia. Nilai stress dan strain ini juga bisa digunakan dalam upaya mitigasi bencana gempa bumi.
Apa yang saya jelaskan di atas adalah upaya-upaya dan pendekatan peneliti kita untuk mengurangi dampak gempabumi. Dengan banyaknya data pengukuran GPS geodetik ini maka akan bisa diperkirakan apakah suatu daerah memiliki potensi gempa besar atau tidak. Kalaupun ada potensi gempa besar, para peneliti gempabumi juga belum bisa memperkirakan dengan tepat kapan gempa tersebut akan terjadi. Yang mampu mereka lakukan adalah memprediksi gempa dalam range waktu, misalkan diduga akan terjadi gempa di suatu kawasan pada tahun 2020 s/d 2070. Kapan tepatnya akan terjadi, belum ada satupun ahli gempa yang bisa menjawabnya. Jadi kalau ada SMS, BBM dan e-mail tentang prediksi gempa maka saran saya abaikan saja…

0 komentar:

Posting Komentar

Broken Link ? or Any Request ? left your comment